Mengenai ayat
mutasyabih yang sebenarnya para Imam
dan Muhadditsin selalu
berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian
kelompok muslimin sesat
masa
kini, mereka
selalu mencoba menusuk
kepada jantung tauhid yang sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan,
wajah dll yang hanya membuat kerancuan
dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan,
maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.
Sebagaimana makna Istiwa, yang sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar
membahasnya
dan
mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT” , entah darimana pula mereka menemukan
makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan
Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan
ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits
qudsiy
disebutkan Allah
swt turun
kelangit
yang
terendah
saat
sepertiga
malam
terakhir, sebagaimana
diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan
kita
memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir,
Maka bila disuatu
tempat adalah tengah malam,
maka waktu tengah malam itu tidak
sirna, tapi terus berpindah
ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah
berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin
ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman
mereka, jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan
dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah
dan
tak pernah
kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan
bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits
Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah.
Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah
ketika datang seseorang yang bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab :
”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan
tidak boleh mengatakannya
mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini
adalah
Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau
ini orang
jahat, keluarkan dia..!”, demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya
: ”kulihat
engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang
Imam Mulia yang menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang
mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini.
Lalu bagaimana dengan firman Nya
: ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan
bahwa ada tangan turun dari langit yang turut
berbai’at pada sahabat.
Juga sebagaimana hadits
qudsiy yang mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada
Ku dengan hal hal yang fardhu,
dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya
maka aku
menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar,
dan
menjadi matanya yang ia
gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi,
dan
kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya
kuberi permintaannya....”
(shahih Bukhari hadits no.6137) Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera
lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan
Allah,
pertolongan Allah,
kekuatan Allah,
keberkahan Allah, dan sungguh maknanya
bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.
Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat/madzhab dalam menafsirkannya, yaitu:
1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih
Madzhab ini mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan
maknanya kpd Allah swt,
dengan i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal
masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu
biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu hanifah.
Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para imam yang memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil
Madzab ini menakwilkan
ayat/hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat
penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan
syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana
Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid
oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan
sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.
Seperti ayat :
”Nasuullaha fanasiahum” (mereka
melupakan
Allah
maka
Allah
pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67),
dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).
Dengan ayat
ini
kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan
Allah punya sifat lupa, tapi berbeda
dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman :
”Wahai
Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku
menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak
mau menjenguknya?,
tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?
Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba
Nya, dan kemuliaan
serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy
indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau
temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan
menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah
waljamaah yang
berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy,
Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah
swt, sebagaimana
firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan
dari apa apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para
Rasul,
dan segala
puji atas
tuhan sekalian alam”
.
(QS
Asshaffat
180-182).
Walillahittaufiq
Sumber : Diambil
dari buku “Kenali Aqidahmu” Karangan Habib Munzir Al Musawa Halaman 22-24
Terima Kasih Telah Berkunjung
Judul: AYAT TASYBIH
Ditulis Oleh Unknown
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel AYAT TASYBIH ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
Judul: AYAT TASYBIH
Ditulis Oleh Unknown
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel AYAT TASYBIH ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
No comments:
Post a Comment